Sabtu, 09 Juni 2012

Alfian Bagi Shinta

Bagi Shinta, Alfian adalah Bintang yang tak tergapai, cahaya yang tak terjangkau. Namun mengapa rasanya sulit untuk melepaskan sosok itu dari hatinya.

Surat Untuk Bintang


Aku tak peduli pada Bintang karena Bintang pun tak pernah peduli padaku. Berkali-kali aku mencoba membangun interaksi dengannya, tapi Bintang selalu mengabaikan aku, seolah aku tak pernah ada. Seolah aku bukan sesuatu yang patut dia perhatikan, karena baginya aku tak pernah ada.
Bintang mungkin tak pernah peduli pada perasaanku untuknya, tapi aku ingin dia tahu, bahwa dia berharga untukku. Dialah Bintang di hatiku yang akan selalu benderang meski malam telah usai.
Suatu kali aku pernah memberanikan diri, mengutarakan perasaanku pada Bintang, begini kataku pada Bintang:
“ Meski semua Bintang di dunia ini bersinar, tapi kamulah yang paling berkilau di hatiku, dengan semua pesonamu yang meluluhkan hatiku, untuk mebiarkanmu tetap ada di sana. ”

Tapi Bintang sama sekali tidak peduli ketika ku sampaikan perasaanku padanya malam itu. Dia tak bergeming sedikitpun, bahkan menoleh ke arahku pun, tidak. Harusnya aku sakit hati, namun dia adalah Bintang dan aku selalu punya pembelaan untuk setiap tingkah acuhnya padaku.

Mengapa Bintang tak pernah peduli padaku? Mungkinkah karena Bintang tak punya hati, tapi mengapa dia begitu terang? Hingga mampu menerangi hati semua orang yang  meredup.

Bintangku…Bintang yang paling bersinar di alam ini. Dia bukan Bintang Kejora, apalagi Bintang kecil. Dia…hanya Bintangku dan mungkin Bintang bagi semua yang mengenalnya sebagai Bintang. Namun aku tak pernah paham pada alasan Bintang yang tak pernah peduli padaku, padahal dia begitu peduli pada semua makhluk selain aku. 

Ku dengar selentingan, katanya…Bintang merasa tak layak untukku…benarkah begitu? Siapa yang sebenarnya yang berhak menentukan sesuatu layak bagi yang lainnya atau tidak? Tentu saja bukan Bintang, tapi mengapa Bintang begitu yakin bahwa dia tak layak untukku, ataukah…aku yang tak layak untuknya?

Malam itu, untuk kesekian kalinya aku kembali membuat Bintang tahu tentang perasaanku padanya. Lagi-lagi, hanya penolakkan yang aku terima. Begini kata Bintang padaku:
“ Sebesar apapun aku berarti di hatimu, Rembulan, Aku tak bisa menyimpanmu di hatiku, karena aku tahu, aku hanya akan terluka karenanya. Kita tak akan pernah bersatu, karena seumur hidup…Kau telah ditakdirkan untuk selalu mengikuti Bumi, sesuatu yang tak pernah mungkin bisa kau tinggalkan, hanya demi aku. ”

Aku tercengang mendapatkan jawaban itu. Tak pernah terlintas sedikitpun di benakku, bahwa Bintang tak peduli padaku karena Bumi. Karena Bintang tahu aku tak mungkin meninggalkan Bumi-planet yang seumur hidup harus aku kelilingi. Dan aku tak bisa berkata lagi, Bintang benar, kami tak mungkin di persatukan oleh takdir, karena aku telah memiliki takdir lain, yang sudah di gariskan, sejak pertama kali Tuhan menciptakanku. Aku tak mungkin meninggalkan Bumi, karena mengikutinya adalah takdirku sebagai Rembulan, yang hanya sebuah satelit bagi Bumi. 

Itulah malam terakhirku melihat Bintang, melihat senyum terakhirnya untukku, melihat kilaunya yang menyapaku dengan ramah. Untuk Bintang, yang kini entah ada di galaksi mana, aku hanya ingin kau tahu…bahwa, meski aku harus selalu mengikuti Bumi, tetap saja kau yang terindah dan paling bersinar di hatiku, kini atau nanti.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar