Sabtu, 09 Juni 2012

Kenangan Pertemuan Pertama


Aku tidak tahu kapan semuanya dimulai. Saat aku tersadar, perasaanku sudah tak tentu arah. Kehadirannya, senyumnya, dan semua tentangnya tiba-tiba saja menjadi penting. Semuanya terekam jelas dibenakku, ketika kami bertemu dua tahun silam di jalan tikus yang menghubungkan gedung kampusku dan jalan besar di samping Kampus. Di situlah mulanya, dan semua berawal dari sana.

            Hari itu, terik mentari tak bosan menyapaku. Jam 12 tepat, saat aku berjalan di jalan tikus itu menuju kampusku. Dengan terbuu-buru, aku berjalan cemas. Ada kuliah jam satu siang itu, dan aku belum shalat dzuhur. Semuanya terasa begitu cepat, saat kulihat sosoknya pertama kali yang tersenyum padaku. Mungkin tak ada maksud apapun, namun senyum pertamanya itu entah mengapa memberikan semangat tambahan padaku yang terburu-buru. Penampilannya yang biasa, malah mencolok di mataku, dengan kemeja merah kotak-kotak yang memadukan warna merah hati, ungu, dan hitam, celana kain hitam, sandal gunung yang tak terpasang sempurna, serta tas cangklung yang terlihat hampir lusuh, namun masih layak pakai. Rambutnya tersisir rapi, tanpa polesan minyak rambut, dan wajahnya yang penuh senyum itu, begitu tenang dan ramah, seolah dia tak pernah memiliki masalah berat yang sering sekali aku hadapi. Dan senyumnya, tak pernah terlupa, selalu ada dibenakku, sampai hari ini 

Sederhana, itulah kata yang kugunakan untuk mengambarkan sosoknya. Kesan yang tak biasa kuberikan pada seseorang yang akhirnya merebut perhatian lebih dariku. Entah apa yang terjadi, sejak hari dimana dia tersenyum pertama kali di jalan tikus itu, aku jadi sering melihatnya berkeliaran di sekitar Kampus. Dan aku pun mulai sedikit mengenalnya. Namanya Alfian, lengkapnya Alfian Razak, yang lebih sering di panggil Ian oleh kawan-kawannya yang ternyata kawanku juga, karena kami satu jurusan dan satu angkatan pula. Kupikir-pikir, lucu juga ya? Kami sering berada di ruangan yang sama pada beberapa mata kuliah, dan aku baru meperhatikannya sejak siang itu. Dari mana saja aku selama ini, sampai-sampai aku tak tahu, bahwa orang yang memberikan seulas senyum siang itu, adalah Alfian yang suatu kali mungkin pernah duduk di sampingku saat kuliah Kalkulus. Dan mengertilah aku, mengapa hari itu Alfian menyedekahkan senyumannya padaku, tentu saja karena dia sadar kalau aku adalah teman sejurusannya. Namun bila aku sudah tahu dia dari awal, maka perasaan ini tak akan pernah muncul. 

Apa yang membuatku tertarik pada Alfian? Senyumannya siang itu? Kurasa bukan, aku bukan tipe orang yang mudah tertarik pada seseorang, hanya karena satu senyuman. Lalu apa yang membuatku, jadi sering memperhatikannya? Hanya satu jawabannya. Tas cangklung lusuh yang setiap hari dipakainya. Mungkin aku tidak logis, tapi itulah kenyataannya. Tas itulah yang membuat hatiku tertawan padanya, mulanya hanya tas-nya, lalu semua yang dipakainya selalu aku ingat, dan barang-barang yang serupa dengan apa yang dikenakannnya akan mengingatkanku padanya, membuatku sering melihatnya dalam diri orang lain. 

Aku tak tahu, mengapa aku menjadi begitu terobsesi padanya. Rasanya hariku tak lengkap bila tak ku lihat tas cangklung yang selalu setia menemaninya di mana pun dia berada ataukah aku sebenarnya merindukan Alfian. Apa arti dari kata rindu itu sebenarnya? Hanya sebuah rasa cemas dan resah, yang akan hilang ketika aku menemukannya. Dua tahun, mungkin sudah lebih, sejak siang itu. Dan selama itu perasaanku tak tentu arah, antara sadar dan tidak, aku sudah tertarik terlalu jauh, oleh pesona sederhananya. Walhasil, semuanya menjadi tak jelas.

Hubungan kami tak begitu baik. Meski satu jurusan, kami sama sekali tak pernah berinteraksi. Bukan salah Alfian, tapi semuanya salahku. Setiap kali Alfian mencoba membangun komunikasi denganku, akulah yang selalu menghindarinya. Sudah watakku sih, sejak dulu aku tak bisa berinteraksi dengan baik dengan seseorang yang… tau kan maksudku? Yah pokoknya begitu lah…

            Masalahnya aku jadi tak nyaman karena Alfian bersikap tak biasa padaku, seolah kami memang tak pernah saling kenal. Setiap kali kami berpapasan tak ada lagi senyumnya untukku, apalagi sapaan ramahnya. Dan bila kami tak sengaja bertemu pandang, dengan cepat dia mengalihkan pandangannya, seperti apa yang aku lakukan. Selalu begitu. Aku tak tahu, apakah suatu saat nanti aku bisa mengubah keadaan ini. Jika terus seperti ini, sampai akhir kuliahku, aku tak kan pernah berbicara padanya, pada Alfian yang hampir setiap hari hanya kupandangi saja. Menyedihkan ya? Tapi lebih sedih lagi bila  aku berpikir, bahwa Alfian, mungkin membenciku, jika itu terjadi…aku tak tahu, apa aku akan bertahan untuk tidak menangis?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar